Matahari dari timur pagi itu terbit seperti biasanya, hangat dikulit memberi semangat prajurit muda. Kicau burung dengan riang, sambil menari dari satu dahan ke dahan lainnya. Secangkir kopi dan makanan ransum dikeluarkan dari ransel perbekalan. Menikmati sarapan dengan suasana yang entah tak bisa diungkapakan walau hanya sekata saja.
Disebuah perkampungan yang telah ditinggalkan oleh gerombolan Fretillin sebagai markasnya, hanya terdiri sekitar 5 banguan berdiri disana. Dijaga dengan segenap jiwa dan raga sebagai bukti bahwa NKRI adalah pemiliknya. Hingga satu letusan mesiu terdengar dari balik bukit dirimbunnya pepohonan. Seorang komandan pleton terjatuh bersimbah darah, ketika hendak mandi disebuah bilik bambu dimana kami sedang berjaga. Tak cukup hanya sekali saja, kemudian menyusul serangan-serangan selanjutnya dengan senjata otomatis yang entah berapa peluru yang dimuntahkannya.
Ilustrasi contempo-idn.com
Semua pasukan berlindung dibalik kendaraan lapis baja, menghindari serangan yang terus menghujani tiada henti. Seorang prajurit berpangkat Kopral Satu (koptu) berusaha masuk kedalam kendaraan lapis baja untuk mengaktifkan senjata serbu berkaliber tinggi yang berada diatasnya. Menjadi seorang pengecut dimedan pertempuran percuma, tetap akan mati jika ajal telah tiba, begitu pikirnya. Dengan berteriak "Allahuakbaarr", diarahkan senjata tersebut keatas perbukitan dengan membabi buta. Sebab musuh sulit terlihat didalam rimbunnya pohon di perbukitan. Hingga tak terdengar lagi serangan balasan dari atas perbukitan, pasukan mulai menysir bekas pertempuran. Hanya patahan dahan yang terkena terjangan peluru dan bercak-bercak darah yang berserakan.
Itu tadi merupakan sepenggal cerita dari seorang veteran Seroja pembebasan Timor-Timur (Timor Leste) bernama Kopral P.Ahmad. Beliau lahir di Lahat Sumatera Selatan, yang saat ini bersama anak cucunya tinggal di desa Karang Endah Kabupaten Muara Enim (kurang lebih satu kilometer dari markas besar Batalyon Kavaleri (YonKav) 5/Serbu).
Beda lagi pengalaman yang pernah dialami oleh (alm) Sersan Adenan semasa hidupnya menceritakan, saat itu beliau sedang konvoi kendaraan lapis baja yang sedang mengawal perbekalan guna didistribusikan untuk personil infanteri di garis depan. Saat melewati jalan dilereng perbukitan tiba-tiba terdengar letusan keras persis dibelakangnya, ternyata kendaraan lapis baja dibelakangnya kena ranjau anti tank yang membuat tersandar didinding perbukitan (tidak ada korban jiwa meski rantai kendaraan tersebut hancur). Atas perintah komandan pleton saat itu, beberapa kendaraan menembakkan kanon sebagai serangan balasan untuk evakuasi kendaraan lapis baja yang terkena ranjau.
Pada operasi seroja yang kedua, team kavaleri diperintahkan untuk mempertahankan titik-titik yang telah dikuasai oleh pasukan infantri. Biasanya titik tersebut merupakan markas gerombolan fretillin yang berada di hutan-hutan dan perbukitan. Pernah ada cerita yang dialami Sersan Adenan ketika sedang bertahan di sebuah rumah kayu yang merupakan markas fretillin diserang saat malam hari. Temannya yang bernama Sersan Samrin terkena sakit malaria saat itu. Ketika terjadi kontak senjata, Sersan Samrin kaget dan berusaha mencari senjatanya. Dikarenakan kondisi saat itu gelap dan kondisi Sersan Samrin sedang sakit, beliau lari kesana kemari mencari senjata miliknya. Untung dengan sigap Sersan Adenan menarik kain sarung yang dipakainya hingga tersungkur disebelahnya.
"Nan, mana senjataku? Mana senjataku?" (seru Sersan Samrin)
"Goblok, kamu mau mati? Tiarap, pakai senjataku. Nanti aku cari senjatamu." (Seru Sersan Adenan dengan nada marah)
Setelah beberapa dari team bisa menyusup kedalam kendaraan lapis baja dan melakukan serangan balasan, situasi mulai kondusif. Terlihat lubang-lubang bekas peluru di dinding kayu rumah dimana mereka saat itu sedang berada. Ada satu lubang yang saat itu persis satu jengkal diatas kepala dimana Sersan Samrin tiarap sambil menahan sakit malarianya. Hingga sebelum ajal menjemput Sersan Samrin dimasa tuanya karena sakit jantung yang dideritanya, beliau berpesan kepada anak dan istrinya untuk memberikan baju kedinasannya yang terakhir tersisa setelah pensiun, kepada Sersan Adenan sebagai tanda bahwa beliau pernah berhutang nyawa kepada sahabatnya tersebut.
Kini generasi mereka sudah satu persatu berpulang menghadap Ilahi, pelaku dan saksi sejarah negeri ini. Keseharian mereka sangat sederhana, tidak bermewah-mewah dan ramah terhadap orang disekitaranya. Hormat saya sebagai generasi muda untuk mereka semua yang telah berani membela negeri ini, tidak seperti generasi kami yang hanya bisa mencaci, membenci, mencurangi tanpa ada sedikitpun kontribusi untuk negeri ini. Semoga amal ibadah pahlawan negeriku diterima disisinya dan diampuni semua dosa-dosanya.
Sumber : (alm) Sersan Adenan, Sersan Darjo dan Kopral P.Ahmad/Purnawirawan YonKav 5/SERBU
loading...